MAKALAH
KEDUDUKAN DAN KEKUASAAN PERADILAN AGAMA &
SUMBER-SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
Oleh :
Habibi
NIM. 11.0401.2015.068
NIRM.
15.11.29.0208.0254
PROGRAM STUDI HUKUM
EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA
ISLAM SULTAN MUHAMMAD SYAFIUDDIN
SAMBAS
2018
M/1439 H
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan Peradilan
Agama telah ada di berbagai tempat di Nusantara, jauh sejak zaman penjajahan
Belanda. Bahkan menurut pakar Sejarah Peradilan, Peradilan Agama telah ada
sejak abad ke-16. Dalam sejarah yang dibukukan oleh Departemen Agama yang
berjudul “Seabad Peradilan Agama di Indonesia”, tanggal 19 Januari 1882
ditetapkan sebagai Hari Jadinya, yaitu berbarengan dengan diundangkannya
ordonantie stbl.1882-152, tentang Peradilan Agama di Pulau Jawa – Madura.
Selama itu hingga sekarang, Peradilan Agama berjalan, putusannya ditaati
dan dilaksanakan dengan sukarela, tetapi hingga diundangkannya UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989, Peradilan Agama
belum pernah memiliki undang-undang tersendiri tentang susunan, kekuasaan dan
acara, melainkan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang
tidak merupakan kesatuan, dan tidak pula seragam.
Pengadilan
Agama berwenang mengadili perkara sesuai dengan jenis perkara yang telah
diberikan oleh undang-undang ( perkara yang terjadi antara orang-orang Islam
dalam perkara perdata tertentu).UUPA No. 3/2006 ps. 2. Jenis perkara
yang menjadi kewenangan Peradilan Agama ialah : Perkawinan;
kewarisan/hibah/wasiat; wakaf; zakat/shodaqah/infak; dan ekonomi syari’ah (UUPA
No. 3/2006, ps 49 beserta penjelasannya) .
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaiman Kedudukan Dan
Kekuasaan Peradilan Agama?
2. Apa Sumber Hukum Acara Peradilan
Agama ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui Kedudukan Dan
Kekuasaan Peradilan Agama ?
2.
Mengetahui Sumber Hukum Acara Peradilan Agama ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KEDUDUKAN DAN KEKUASAAN PERADILAN AGAMA
1.
Kedudukan Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah peradilan tingkat pertama yang berkedudukan di Kota/Kabupaten. PTA adalah peradilan tingkat
banding yang berkedudukan Ibu Kota Provinsi.UUD 1945 Pasal 24 ayat (2) menyatakan
: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang ada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama,
lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
UU Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 3
Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009, Pasal 2 menyatakan :Peradilan Agama
merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang beragama Islam mengenai perkara-perkara tertentu yang diatur dalam
undang-undang ini
Pasal 3 UU Peradilan
Agama tersebut menyatakan :
a. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan
oleh
b. Pengadilan Agama
c. Pengadilan Tinggi Agama
d. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
2.
Relatif (Relative Competentie)
Pengadilan Agama berwenang mengadili perkara sesuai dengan wilayah kekuasaannya
(Kabupaten/Kota). Pengadilan Tinggi
Agama berwenang mengadili perkara sesuai dengan wilayah
kekuasaannya (provinsi) (UUPA No.3/2006, ps.4).
Apabila terjadi
sengketa mengenai kewenangan relatif antar PA dalam
satu wilayah PTA, penyelesaiannya menjadi wewenang PTA. Apabila terjadi sengketa mengenai
kewenangan relatif antar PA dalam wilayah kekuasaan PTA yang berbeda,
penyelesaiannya menjadi wewenang MA.Apabilla terjadi sengketa mengenai kewenangan relatif antar
PTA yang berbeda, penyelesaiannya menjadi wewenang MA.
3. Kewenangan Mutlak (Absolute Competentie)
Pengadilan
Agama berwenang mengadili perkara sesuai dengan jenis perkara yang telah
diberikan oleh undang-undang ( perkara yang terjadi antara orang-orang Islam
dalam perkara perdata tertentu).UUPA No. 3/2006 ps. 2. Jenis perkara
yang menjadi kewenangan Peradilan Agama ialah : Perkawinan;
kewarisan/hibah/wasiat; wakaf; zakat/shodaqah/infak; dan ekonomi syari’ah (UUPA
No. 3/2006, ps 49 beserta penjelasannya) .
Apabila terjasi sengketa mengenai
kewenangan mutlak antara PA dengan pengadilan lainnya, penyelesasiannya
menjadi wewenang M A.Apabila terjadi sengketa kewenangan menenai perbedaan
domisili pihah-pihak yang berperkara, maka yang menjadi dasar ialah
domisili pihak istri dalam perkara perceraian; domosili tergugat dalam perkara
selain perkawinan; domisili penggugat apabila tergugat tidak diketahui tempat
tinggalnya; tempat objek sengeketa apabila menyangkut tanah; domisili tempat
pernikahan apabila pihak yang berperkara berada diluar negeri.
Dalam
menyelasaikan perkara Peradilan Agama, sumber hukum materiil yang dipakai
antara lain:
a. Perkawinan (UUP No. 1/1974, PP No.9/1975; UUPA No.7/1089; KHI;Peraturan-2
yang terkait dan Kitab-kitab fiqh).
b. Wakaf (KHI; UUW No.41/2004; PP
No.28/1977;Peraturan-2 yang terkait dan Kitab-kitab fiqh).
c. Waris,hibah, wasiat ( KHI, peraturan-2 yang terkait dan kitab-kitab fiqh).
d. Zakat/shadaqah/Infak (UUZ No. 38/1999; peraturan-2 yang terkait dan
kitab-kitab fiqh).
e. Ekonomi Syari’ah (KHES; Perundang-an perbankan, Ekonomi/Bank Syari’ah dan
kitab-kitan fiqh).
B.
SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
1.
UU No.14/1970 Yang Diganti Dengan UU No.4/2004
Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara
kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan
kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam
mencari keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang
menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman
serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan,
pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.
Untuk memberikan kepastian dalam proses pengalihan organisasi,
administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam
Undang-Undang ini diatur pula ketentuan peralihan.Kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia.
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.Mahkamah Agung merupakan
pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan dan semua putusan
pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum.
Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara
kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan
kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam
mencari keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang
menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman
serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan,
pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Untuk memberikan kepastian
dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan
di bawah Mahkamah Agung dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan
peralihan.
2.
UU No. 1 tahun 1974
Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai
dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan,
perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, harta benda dalam
perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak, hak dan
kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian, ketentuan-ketentuan lain,
ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Mahaesa.Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak
adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung
prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini
menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat
kita.
Dalam Undang-undang ini ditentukan
prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai perkawinan dari segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan
tuntutan zaman.
Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang- undang ini
adalah sebagai berikut:
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk
itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan sprituil dan
material.
2. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.itu;
dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama
halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya
kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte
resmi yang juga dimuat dalam pencatatan.
3. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh
yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan,
seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan
seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki
oleh pihak- pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi
berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.
4. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus
telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya
dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian
dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya
perkawinan diantara calon suami isteri yang masih dibawah umur. Disamping itu,
perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa
batas umur yang lobih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju
kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini
menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19
(sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.
5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal
dan sejahtera, maka undang- undang ini menganut prinsip untuk mempersukar
terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan
di depan Sidang Pengadilan.
6. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik
dalam kehidupan rumahtangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan
demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan
bersama oleh suami-isteri.
3.
UU No. 14/1985 Yang Telah Diganti Dengan UU No. 5/2004
Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimanadimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Susunan Mahkamah Agung terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera,
danseorang sekretaris. Pimpinan dan hakim anggota Mahkamah Agung adalah hakim
agung dan hakim agung paling banyak 60 orang.
Pimpinan Mahkamah Agung terdiri atas seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua,
dan beberapa orang ketua muda.Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri atas wakil
ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang non-yudisial.Wakil ketua bidang
yudisial membawahi ketua muda perdata, ketua muda pidana, ketua muda agama,
ketua muda militer, dan ketua muda tata usahanegara.
Pada setiap pembidangan, Mahkamah Agung dapat melakukan pengkhususan bidang
hukum tertentu yang diketuaioleh ketua muda.Wakil ketua bidang non-yudisial
membawahi ketua muda pembinaan dan ketuamuda pengawasan. Masa jabatan Ketua,
Wakil Ketua, dan Ketua Muda Mahkamah Agung selama 5 (lima) tahun.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menentukan bahwa Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan
tata usaha negara adalah pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, di samping
Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.
Selain itu, ditentukan pula Mahkamah Agung mempunyai
wewenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang, dan kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang.Undang-Undang
ini memuat perubahan terhadap berbagai substansi Undang-Undang No. 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung.
Perubahan tersebut, di sampingguna disesuaikan dengan
arah kebijakan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, juga didasarkan atas Undang-Undangmengenai kekuasaan
kehakiman baru yang menggantikan Undang-UndangNomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakimansebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentangPerubahan Atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.
Berbagai substansi perubahan dalam Undang-Undang ini
antara lain tentangpenegasan kedudukan Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman, syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, serta
beberapa substansi yang menyangkut hukum acara, khususnya dalam melaksanakan
tugas dan kewenangan dalam memeriksa dan memutus pada tingkat kasasi serta
dalam melakukan hak uji terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undapat
dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung.
Pembatasan ini di samping dimaksudkan untuk mengurangi
kecenderungan setiap perkara diajukan ke Mahkamah Agung sekaligus dimaksudkan
untuk mendorong peningkatan kualitasputusan pengadilan tingkat pertama dan
pengadilan tingkat banding sesuai dengannilai-nilai hukum dan keadilan dalam
masyarakat.
Dengan bertambahnya ruang lingkup tugas dan tanggung
jawab Mahkamah Agungantara lain di bidang pengaturan dan pengurusan masalah
organisasi, administrasi,dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung,
maka organisasiMahkamah Agung perlu dilakukan pula penyesuaian.
4. UU No. 7/1989 Yang Telah Diganti Dengan UU No. 3/2006
Dalam Undang-Undang ini kewenangan
pengadilan di lingkungan Peradilan Agama diperluas, hal ini sesuai dengan
perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim.
Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syari'ah. Dalam kaitannya
dengan perubahan Undang-Undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam penjelasan
umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan:
"Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum
apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan", dinyatakan dihapus.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskanadanya pengadilan khusus yang dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan dengan undang-undang.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskanadanya pengadilan khusus yang dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan dengan undang-undang.
Oleh karena itu, keberadaan pengadilan
khusus dalam lingkungan Peradilan Agama perlu diatur pula dalam Undang-Undang
ini.Penggantian dan perubahan Undang-Undang tersebut secara tegas telah
mengatur pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari semua
lingkungan peradilan ke Mahkamah Agung. Dengan demikian, organisasi,
administrasi, dan finansial badan peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang
sebelumnya masih berada di bawah Departemen Agama berdasarkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama perlu disesuaikan.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengalihan ke Mahkamah Agung
telah dilakukan. Untuk memenuhi ketentuan dimaksud perlu pula diadakan
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Peradilan Agama merupakan salah satu
badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan
hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah.
Dengan penegasan kewenangan Peradilan
Agama tersebut dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada pengadilan agama
dalam menyelesaikan perkara tertentu tersebut, termasuk pelanggaran atas Undang-Undang
tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya serta memperkuat landasan hukum
Mahkamah Syar'iyah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah
berdasarkan ganun.Pengadilan agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan
daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan tinggi agama
berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah
provinsi.
5. PP No. 9 Tahun 1975
Peraturan Pemerintah ini memuat
ketentuan-ketentuan tentang masalah pencatatan perkawinan,tatacara pelaksanaan
perkawinan, tatacara perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian, tenggang
waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan, pembatalan perkawinan dan
ketentuan dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang dan sebagainya.
Karena untuk melaksanakan Peraturan
Pemerintah ini diperlukan langkah-langkah persiapan dan serangkaian petunjuk
petunjuk pelaksanaan dari berbagai Departemen atau Instansi yang bersangkutan,
khususnya dari Departemen Agama, Departemen Kehakiman dan Departemen Dalam
Negeri, sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan lancar, maka perlu
ditetapkan jangka waktu enam bulan sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah
ini untuk mengadakan langkah-langkah persiapan tersebut.
6.
HIR, Rbg, dan RVHIR (Het Herziene
Indonesisch Reglement)
Reglemen tentang melakukan tugas kepolisian, mengadili perkaraperdata dan
penuntutan hukuman bagi bangsa Indonesia danbangsa Timur Asing di Jawa dan
Madura. Dalam Reglemen Indonesia yang Diperbarui (RIB) ini hanya dimuat hal-hal
yang berkaitan dengan perkara perdata, hal-hal yang menyangkut perkara pidana
diatur dengan Kitab Undang-undang HukumAcara Pidana dan peraturan
pelaksanaannya.
Dalam reglemen ini memuat:
a.
Hal
melakukan tugas kepolisian, yang meliputi kepala desa dan semua bawahan polisi
yang Lain.
b.
Hal
mengadili perkara perdatayang termasuk wewenang pengadilan negeri.
RBG (Rechtsreglement Buitengewesten)Reglemen Untuk Daerah Seberang berlaku untuk daerah
luar Jawa dan Madura. Dalam reglemen ini memuat:
1.
Cara mengadili perkara perdata yang dalam tingkat pertama menjadi
wewenang pengadilan Negeri yang meliputi:
·
Pemeriksaan di Sidang
pengadilan
·
Musyawarah dan
Keputusan pengadilan
·
Banding.
·
Pelaksanaan keputusan
hukum
·
Beberapa acara khusus
·
Izin berperkara tanpa biaya
2.
Bukti dalam perkara perdata
RV (Reglement of de Rechtsvordering) RV
adalah hukum perdata eropa yang dibawa oleh belanda ke Indonesia. Tapi ternyata
tidak cocok dengan Indonesia, oleh karena itu kemudian diadakan
penyesuaian-penyesuaian dan dibentuklah HIR. Kemudian setelah beberapa lama,
terjadi ketidak sesuaian dengan daerah luar Jawa dan Madura, maka dibentuklah
RBg.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan Peradilan
Agama telah ada di berbagai tempat di Nusantara, jauh sejak zaman penjajahan
Belanda. Bahkan menurut pakar Sejarah Peradilan, Peradilan Agama telah ada
sejak abad ke-16. Dalam sejarah yang dibukukan oleh Departemen Agama yang
berjudul “Seabad Peradilan Agama di Indonesia”, tanggal 19 Januari 1882
ditetapkan sebagai Hari Jadinya, yaitu berbarengan dengan diundangkannya
ordonantie stbl.1882-152, tentang Peradilan Agama di Pulau Jawa – Madura.
Selama itu hingga sekarang, Peradilan Agama berjalan, putusannya ditaati
dan dilaksanakan dengan sukarela, tetapi hingga diundangkannya UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989, Peradilan Agama
belum pernah memiliki undang-undang tersendiri tentang susunan, kekuasaan dan
acara, melainkan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang
tidak merupakan kesatuan, dan tidak pula seragam.
Namun kini Peradilan Agama telah mempunyai UU tersendiri, yaitu UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan
diundangkan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang tersebut
merupakan rangkaian dari undang-undang yang mengatur kedudukan dan kekuasaan
Peradilan di negara RI.
Selain itu, UU tersebut melengkapi UU Mahkamag Agung No. 14 Tahun 1985, UU
Peadilan Umum No. 2 Tahun 1986 dan UU Peradilan Tata Usaha Negara No. 5 Tahun
1986. Dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kedudukan
dan kekuasaan Pengadilan Agama setara dengan Lembaga Pengadilan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Taufiq Hamami,
Kedudukan Dan Eksisstensi Peradilan Agama Dalam Sistem Tata Hukum Indonesia,
PT. Alumni, Bandung,2003.
Marulak
perdede, Eksistensi Dan Kedudukan Hukum Peradilan Agama Dalam Tata Hukum
Indonesia,Angkatan Bersenjata, Jakarta,1989
Bahrun
Martosuharta, RUU-PA Perekat Kesatuan
Politik Panji Masyarakat
,jakarta,1989.
Mukti Arto ,Praktek
Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,Pustaka pelajar, Yogyakarta,2000.
DEPAG RI , Rencana Indah Pengembangan Peradilan Agama,
jakarta,1999
Komentar
Posting Komentar